PRESS RELEASE : Peringatan Sumpah Pemuda 2014
![]() |
Designed by Fifi Dewi Kadita |
28
Oktober 1928, menjadi sebuah peristiwa bersejarah yang menyulut semangat
persatuan, dimana pemuda dan pemudi Indonesia mengikrarkan sumpah untuk
bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu. Sebuah peristiwa yang memantik
pemuda bergerak melawan penjajahan Indonesia. Mengingat peristiwa ini pantaslah
pemuda disebut sebagai agent of change
yang mampu membawa perubahan dalam masyarakat, sebuah kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia.
Pergerakan pemuda
yang patriotik ini sesungguhnya tak luput dari budaya literasi yang dimiliki
para pemuda di masa itu. Budaya literasi yakni membaca, menulis, berdiskusi
atau sederet aktivitas sejenis lainnya menjadi pemantik munculnya pergerakan
nasional. Dari budaya ini muncul banyak ide yang mengkritisi segala persoalan
bangsa dan negara. Coba kita tengok kembali para pelopor sumpah pemuda yang
muncul dari kaum intelektual, terpelajar, mahasiswa dan para aktivis pemuda
lainnya. Semua pemikiran kritis yang mereka tuangkan dalam meja diskusi mampu
melahirkan sumpah pemuda melalui Kongres Pemuda II. Selain itu seperti yang
dikatakan Joko Wahyono, seorang analis politik di UIN Kalijaga Yogyarkarta,
dalam tulisannya berjudul “Pemuda dan Literasi Bangsa”, beberapa tokoh nasional
seperti bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantoro pun memiliki
tulisan-tulisan tajam yang dapat menumbuhkan semangat antikolonial. Budaya
literasi juga diterapkan oleh Kartini melalui surat-menyurat dengan
wanita-wanita Eropa yang kemudian membuatnya mengenal ide-ide besar sehingga
melahirkan emansipasi wanita.
Kemudian
bagaimana kabar pemuda saat ini? Kemajuan teknologi sudah begitu deras mengalir
di tengah masyarakat. Tentunya tak luput mempengaruhi kehidupan para pemudanya
mayoritas. Mereka lebih suka mengekspresikan bahasanya melalui emoticon yang
bahkan lebih ekspresif ketimbang manusianya sendiri. Saat ini, tak banyak
kumpulan pemuda yang bisa kita temukan tengah berdiskusi santai membicarakan
budaya, filsafat ataupun politik. Bahkan untuk masalah birokrasi kampus yang
semakin ruwet pun tak banyak yang mau menjamah, bahkan tak merasakan
tekanan-tekanan yang makin lama kian terasa mendesak. Mungkin saja sensitivitas
pemuda mulai tumpul dan menganggap berpikir kritis menjadi sebuah kegiatan yang
melelahkan atau malah mengobrak-abrik kenyamanan hidupnya. Mahasiwa mulai
mengalami krisis ideologi yang disebabkan melemahnya budaya literasi saat ini.
Padahal melalui budaya menulis, membaca, berdiskusi atau aktivitas literasi
lainnya dapat mempertajam rasa kepedulian pada masyarakat dan melahirkan
pemikiran-pemikiran kritis untuk memecahkan permasalahan di masyarakat. Satu
hal yang menjadi pertanyaan saat ini,
pantaskah agent of change masih
tersemat di dada para pemuda yang lebih suka huru-hara ini?
Joko
Wahyono (2013) menyebutkan seorang penulis The Russo-Japanese War,
Geoffrey Jukes (2002), mencatat bahwa penentu kemenangan Jepang atas Rusia
dalam perang tahun 1904-1905 bukanlah teknologi, tetapi literasi. Pada saat
itu, tentara Jepang memiliki tingkat literasi yang lebih tinggi ketimbang
tentara Rusia. Hal ini menunjukkan pentingnya budaya literasi di suatu bangsa.
Dengan banyak membaca kita bisa menambah wawasan seluas mungkin, memunculkan
banyak ide kritis dan kreatif. Pemuda saat ini lebih banyak mengaplikasikan
teori ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) sebatas pada Amati dan Tiru. Kesalahan
itu ada pada tindakan mengamati dan meniru tanpa memodifikasi. Titik kreatif
seseorang dapat dilihat dari bagaimana cara dia memodifikasi apa yang ia amati
dan tiru. Setiap karya tidak akan pernah luput dari tindakan mengamati dan
meniru. Namun jika ia meniru tanpa ada modifikasi maka layaklah ia dikatakan
sebagai insan yang sama sekali tak kreatif. Dengan membaca, kita bisa
melahirkan banyak gagasan baru yang dapat menghapuskan kelatahan para pemuda
terhadap selera yang melulu seragam. Dengan menulis, kita bisa menuangkan
ide-ide atau permasalahan yang menjadi keresahan di masyarakat dan
menuangkannya dalam tulisan, sehingga diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran
masyarakat dan mempertajam kepekaan kita terhadap segala permasalahan di
lingkungan sekitar. Lewat diskusi, akan ada banyak pikiran yang saling bergelut
dan bertukar untuk menambah wawasan, pandangan ataupun pemikiran-pemikiran
kritis yang bisa digali dan sederet aktivitas literasi lainnya.
Bertepatan
dengan hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober, sudah semestinya kita perlu
merenungkan kembali posisi kita sebagai pemuda di tengah masyarakat.
Mempertajam kemampuan kita sebagai agent
of change yang semestinya mampu membawa perubahan lebih baik dalam
masyarakat sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi. Mari kembali menumbuhkan
budaya literasi untuk memantik perubahan.
SALAM MAHASISWA !
BANGKIT PEMUDA INDONESIA !
0 comments:
Posting Komentar