Senin, 27 Oktober 2014

PRESS RELEASE : Peringatan Sumpah Pemuda 2014


Designed by Fifi Dewi Kadita
                28 Oktober 1928, menjadi sebuah peristiwa bersejarah yang menyulut semangat persatuan, dimana pemuda dan pemudi Indonesia mengikrarkan sumpah untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu. Sebuah peristiwa yang memantik pemuda bergerak melawan penjajahan Indonesia. Mengingat peristiwa ini pantaslah pemuda disebut sebagai agent of change yang mampu membawa perubahan dalam masyarakat, sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
                Pergerakan pemuda yang patriotik ini sesungguhnya tak luput dari budaya literasi yang dimiliki para pemuda di masa itu. Budaya literasi yakni membaca, menulis, berdiskusi atau sederet aktivitas sejenis lainnya menjadi pemantik munculnya pergerakan nasional. Dari budaya ini muncul banyak ide yang mengkritisi segala persoalan bangsa dan negara. Coba kita tengok kembali para pelopor sumpah pemuda yang muncul dari kaum intelektual, terpelajar, mahasiswa dan para aktivis pemuda lainnya. Semua pemikiran kritis yang mereka tuangkan dalam meja diskusi mampu melahirkan sumpah pemuda melalui Kongres Pemuda II. Selain itu seperti yang dikatakan Joko Wahyono, seorang analis politik di UIN Kalijaga Yogyarkarta, dalam tulisannya berjudul “Pemuda dan Literasi Bangsa”, beberapa tokoh nasional seperti bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantoro pun memiliki tulisan-tulisan tajam yang dapat menumbuhkan semangat antikolonial. Budaya literasi juga diterapkan oleh Kartini melalui surat-menyurat dengan wanita-wanita Eropa yang kemudian membuatnya mengenal ide-ide besar sehingga melahirkan emansipasi wanita.
                Kemudian bagaimana kabar pemuda saat ini? Kemajuan teknologi sudah begitu deras mengalir di tengah masyarakat. Tentunya tak luput mempengaruhi kehidupan para pemudanya mayoritas. Mereka lebih suka mengekspresikan bahasanya melalui emoticon yang bahkan lebih ekspresif ketimbang manusianya sendiri. Saat ini, tak banyak kumpulan pemuda yang bisa kita temukan tengah berdiskusi santai membicarakan budaya, filsafat ataupun politik. Bahkan untuk masalah birokrasi kampus yang semakin ruwet pun tak banyak yang mau menjamah, bahkan tak merasakan tekanan-tekanan yang makin lama kian terasa mendesak. Mungkin saja sensitivitas pemuda mulai tumpul dan menganggap berpikir kritis menjadi sebuah kegiatan yang melelahkan atau malah mengobrak-abrik kenyamanan hidupnya. Mahasiwa mulai mengalami krisis ideologi yang disebabkan melemahnya budaya literasi saat ini. Padahal melalui budaya menulis, membaca, berdiskusi atau aktivitas literasi lainnya dapat mempertajam rasa kepedulian pada masyarakat dan melahirkan pemikiran-pemikiran kritis untuk memecahkan permasalahan di masyarakat. Satu hal  yang menjadi pertanyaan saat ini, pantaskah agent of change masih tersemat di dada para pemuda yang lebih suka huru-hara ini?
                Joko Wahyono (2013) menyebutkan seorang penulis The Russo-Japanese War, Geoffrey Jukes (2002), mencatat bahwa penentu kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904-1905 bukanlah teknologi, tetapi literasi. Pada saat itu, tentara Jepang memiliki tingkat literasi yang lebih tinggi ketimbang tentara Rusia. Hal ini menunjukkan pentingnya budaya literasi di suatu bangsa. Dengan banyak membaca kita bisa menambah wawasan seluas mungkin, memunculkan banyak ide kritis dan kreatif. Pemuda saat ini lebih banyak mengaplikasikan teori ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) sebatas pada Amati dan Tiru. Kesalahan itu ada pada tindakan mengamati dan meniru tanpa memodifikasi. Titik kreatif seseorang dapat dilihat dari bagaimana cara dia memodifikasi apa yang ia amati dan tiru. Setiap karya tidak akan pernah luput dari tindakan mengamati dan meniru. Namun jika ia meniru tanpa ada modifikasi maka layaklah ia dikatakan sebagai insan yang sama sekali tak kreatif. Dengan membaca, kita bisa melahirkan banyak gagasan baru yang dapat menghapuskan kelatahan para pemuda terhadap selera yang melulu seragam. Dengan menulis, kita bisa menuangkan ide-ide atau permasalahan yang menjadi keresahan di masyarakat dan menuangkannya dalam tulisan, sehingga diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat dan mempertajam kepekaan kita terhadap segala permasalahan di lingkungan sekitar. Lewat diskusi, akan ada banyak pikiran yang saling bergelut dan bertukar untuk menambah wawasan, pandangan ataupun pemikiran-pemikiran kritis yang bisa digali dan sederet aktivitas literasi lainnya.
                Bertepatan dengan hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober, sudah semestinya kita perlu merenungkan kembali posisi kita sebagai pemuda di tengah masyarakat. Mempertajam kemampuan kita sebagai agent of change yang semestinya mampu membawa perubahan lebih baik dalam masyarakat sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi. Mari kembali menumbuhkan budaya literasi untuk memantik perubahan.
SALAM MAHASISWA !
BANGKIT PEMUDA INDONESIA !

   

0 comments:

Posting Komentar

Copyright © 2014 LPM Manifest