Buruh Anak, Sebuah Ironi di Negeri Ini
![]() |
(Ilustrasi.Joko/Manifest)
|
Buruh, merupakan
pekerjaan yang sering dianggap sebagai profesi orang
pinggiran, orang tak punya, dan penuh dengan penindasan oleh penguasa uang.
Banyak sudah cerita yang sering kita dengar tentang perjuangan para buruh di
negeri ini, mulai dari memperjuangkan hak-hak mereka yang terasa dikekang,
penghapusan sistem outsourching,
sampai tuntutan untuk menaikkan upah mereka yang dirasa sangat tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Berbagai cara sudah para buruh dilakukan untuk mendapatkan
hak-hak mereka, namun hukum dunia disini berbicara, siapa yang mempunyai uang,
dia pasti yang akan menang.
Kondisi diatas mungkin sudah biasa kita lihat dan sering
dianggap sebagai hal yang wajar. Namun bagaimana jadinya apabila yang mengalami
hal tersebut adalah anak-anak ? Sudah pasti di benak semua orang yang masih
mempunyai hati nurani akan merasa terpukul. Anak yang semestinya bermain dengan
ceria bersama teman sebayanya dan
mendapatkan ilmu dari guru di sekolah, malah bekerja keras mencari secercah
rupiah hanya untuk terus menyambung hidupnya. Dialah buruh anak, sebuah ironi
di negeri sekaya dan sebesar Indonesia.
Bukan lautan
hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Sepenggal lirik lagu “Kolam Susu” ciptaan Koes Plus
menjadi sindiran keras bagi penguasa dan wakil rakyat di negeri ini yang gagal
menjalankan amanat dari pendiri bangsa. Mereka lebih sibuk memikirkan jabatan,
harta, atau mungkin wanita simpanan daripada hak-hak dari anak penerusbangsa.
Di saat mereka makan di restoran mewah, banyak anak di negeri ini bekerja
sebagai kuli bangunan, kernet angkot, sampai menjadi pembantu rumah tangga
hanya untuk mencari
sesuap nasi yang nantinya akan mengisi perut kosong mereka.
Sebenarnya permasalahan tentang buruh anak
sudah diatur dalam undang-undang kita, namun itu terasa hanya kalimat-kalimat
panjang saja, tanpa ada implementasi yang nyata untuk perubahan. Pasal 68 UU no
13 tahun 2003 menyebutkan bahwa ada tiga poin penting yang terkait mengenai
buruh anak, yaitu pengusaha dilarang untuk memperkerjakan anak, anak adalah
setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun, dan usia minimum warga negara
Indonesia yang diperbolehkan oleh pemerintah untuk bekerja adalah 18 tahun. Namun
pada pasal 69, 70, dan 71 di UU yang sama, menjelaskan pengecualian bagi anak
usia 13 – 15 tahun diizinkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Kemudian juga
anak dengan usia minimum 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja
yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan anak dapat
melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Tapi sebagai
makhluk sosial, seluruh pekerjaan yang dilakukan anak-anak, terlepas itu baik
ataupun buruk akan mempengaruhi mental serta perkembangan dari anak tersebut kedepannya. Karena
setiap anak memiliki hak untuk menikmati masa kecilnya dengan baik, tanpa harus
memikirkan materi.
Banyak faktor yang menyebabkan anak
“terpaksa” untuk bekerja menjadi seorang pekerja atau buruh anak, diantaranya
kemiskinan (ekonomi), pendidikan, serta faktor produksi. Padahal dalam isi
konvensi tentang hak anak menyebutkan bahwa ada empat isi yang dalam konteks
masalah buruh anak dilanggar, yaitu hak kelangsungan hidup (survival right), hak
berkembang (development
right), hak memperoleh perlindungan (protection right), serta hak-hak untuk
berpartisipasi dalam berbagai kepentingan hidupnya.Peran orang tua terhadap
kasus ini juga sangat besar. Dengan dalih alasan ekonomi, banyak orang tua di
Indonesia mengabaikan pendidikan anaknya dan malah meminta anak mereka untuk
ikut juga membantu perekonomian keluarga. Secara tidak sadar orang tua sedang
mengeksploitasi anaknya yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan di masanya.
Efek yang nantinya akan dialami oleh buruh
anak sangat kompleks. Perubahan sikap dan mental pastinya akan secara perlahan
mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka tidak akan menikmati kebahagiaan di masa
kecilnya. Belum lagi mereka tidak akan mendapatkan pendidikan dengan baik yang
nantinya akan berpengaruh terhadap masa depan mereka. Sungguh ironis apabila
anak Indonesia yang bekerja sebagai buruh anak mengalami hal tersebut, padahal
mereka adalah penerus bangsa yang sejatinya harus dilindungi, dididik, dan
dibina agar negara ini bisa lebih maju.
Masalah ini seakan menjadi pekerjaan rumah
yang besar bagi pemerintah. Sebagai Negara
yang berasaskan pancasila, seperti yang tertuang pada sila ke 5, kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sehingga harus dipikirkan bersama bagaimana caranya untuk
membuat rakyat sejahtera tanpa harus membuat anak menjadi buruh.
Apapun alasannya, segala bentuk eksploitasi
terhadap anak akan menjadi dosa yang ditanggung oleh semua pihak. Masyarakat
juga harus ikut membantu pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang
kompleks ini dengan cara mengubah mindset,
bahwa anak-anak harus terus dilindungi, dididik, dan dibina. Apabila pemerintah
dan masyarakat sama-sama bahu membahu mengatasi masalah ini, maka buruh anak
tidak akan lagi menjadi ironi di negeri ini.[SNTL]
0 comments:
Posting Komentar