Negeri 5 Menara
![]() |
Dok Repro/Manifest
|
Judul Novel : Negeri 5 Menara
Pengarang : Ahmad Fuadi
Bahasa : Indonesia
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2009
Pengarang : Ahmad Fuadi
Bahasa : Indonesia
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2009
Novel ini
bercerita tentang kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda. Mereka menuntut
ilmu di Pondok Madani Ponorogo Jawa Timur yang jauh dari rumah dan berhasil
mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. Enam santri itu bernama :Alif Fikri
Chaniago dari Maninjau, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya Dulmajid
dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa. Mereka
sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 sampai kelas 6. Kian hari mereka
semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk dibawah menara
pondok madani. Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka sebagai
Sahibul Menara.
Alif dilahirkan di pinggir Danau Maninjau yang tidak pernah
mengginjakkan kakinya ditanah selain ranah
Minangkabau. Sejak kecil Alif bercita – cita ingin menjadi seperti B.J Habibie.
Masa kecil Alif berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di
sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau. Setelah
tamat SMP Alif berkeinginan melanjutkan ke jenjang SMU Negeri di Padang. Keinginan
Alif kandas karena Amak (Ibu) menginginkan Alif meneruskan pendidikan di
sekolah agama atau pondok pesantren seperti Buya Hamka. Awalnya Alif sempat
marah dengan keputusan Amak tetapi akhirnya Alif ikhlas karena tidak ingin
mengecewakan harapan orang tua. Alif melanjutkan pendidikan di sebuah pondok
pesantren di Jawa “ Pondok Madani” yang ditempuh selama tiga hari hari tiga
malam naik bus untuk melintasi Sumatra dan Jawa.
Alif setengah hati merelakan cita – citanya yang ingin
bersekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB) seperti Habibie berubah dengan
menjalankan pendidikan di pondok pesantren “Pondok Madani”. Pertama kali masuk
di Pondok Madani kalimat bahasa arab yang didengar Alif “Man Jadda Wajada” merupakan
mantera sakti yang diungkapkan oleh Rais (pimpinan pondok) artinya siapa yang
bersungguh – sungguh pasti akan berhasil. Alif pun menjalankan kegiatan sehari
– hari di pondok dengan ikhlas dan bersungguh – sungguh.
Di Pondok Madani Alif berteman dengan Raja dari Medan,
Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan si jenius
Baso dari Gowa, Sulawesi. Kegiatan Alif di Pondok Madani dipenuhi dengan
hafalan Al – Quran, belajar siang – malam, belajar berbahasa Arab dan bahasa
Inggris di 6 bulan pertama. Di Pondok Madani melarang murid – muridnya
menggunakan bahasa Indonesia. Peraturan di Pondok Madani sangatlah ketat jika
ada murid yang melakukan kesalahan dan tidak taat peraturan akan diberi sanksi
yang tidak bisa dibayangkan. Alif dan 5 temannya sangatlah berat untuk
menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada di Pondok Madani. Pada saat ujian,
murid di Pondok Madani harusl belajar selama 24 jam non stop dan hanya ada
waktu tidur beberapa waktu saja. Namun di sela kesibukan rutinitas di Pondok
Madani Alif dan 5 temannya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul di bawah
menara masjid sambil melihat awan dan memikirkan cita – cita mereka ke depan.
Hari demi hari kehidupan Alif menjadi lebih berwarna. Semua
yang ada di Pondok Madani adalah keluarga yang harus saling tolong menolong.
Semua terasa begitu kompak dan bersahabat sehingga suatu hari ada hal yang
tidak terduga, Baso teman Alif keluar dari Pondok Madani karena masalah
ekonomi. Kepergian Baso dari Pondok Madani membangkitkan semangat Alif. Alif
dan 4 sahabatnya sukses dan mampu menamatkan pendidikian di Pondok Madani
sehingga mereka dapat melakukan keinginan mereka yang selama ini mereka
mimpikan. Alif berada di Amerika, Raja di Eropa, Atang di Afrika, Said dan
Dulmajid sangat nasionalis mereka tetap berada di Negara Kesatuan Indonesia
sedangkan Baso di Asia. Mereka berada di menara impian mereka [DYAH].
0 comments:
Posting Komentar